Materi Wudhu dan Sholat Sanlat SDIT Al Manar 1445 H

Assalamu’alaikum Warahmatulllahi Wa Barakaatuh

Berikut adalah materi tentang wudhu dan shalat pada kegiatan Sanlat di SDIT Al Manar 1445 H. Materi ini dibuat dalam bentuk presentasi Canva yang merangkum dari beberapa sumber.

WUDHU & SHALAT by Ahmad Tohir, S.kom

Materi Penguat :

Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib
Kitab Shalat

Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata,

وَشَرَائِطُ الصَّلاَةِ قَبْلَ الدُّخُوْلِ فِيْهَا خَمْسَةُ أَشْيَاءَ طَهَارَةُ الأَعْضَاءِ مِنَ الحَدَثِ وَالنَّجَسِ وَسَتْرُ العَوْرَةِ بِلِبَاسٍ طَاهِرٍ وَالوُقُوْفُ عَلَى مَكَانٍ طَاهِرٍ وَالعِلْمُ بِدُخُوْلِ الوَقْتِ وَاسْتِقْبَالُ القِبْلَةِ وَيَجُوْزُ تَرْكُ القِبْلَةِ فِي حَالَتَيْنِ فِي شِدَّةِ الخَوْفِ وَفِي النَّافِلَةِ فِي السَّفَرِ عَلَى الرَّاحِلَةِ.

Syarat shalat sebelum masuk ke dalam shalat ada lima:

  • menyucikan anggota badan dari hadats dan najis,
  • menutup aurat dengan pakaian yang suci,
  • berdiri di tempat yang suci,
  • mengetahui masuknya waktu shalat,
  • menghadap kiblat. Namun, menghadap kiblat bisa gugur dalam dua keadaan: (a) keadaan sangat takut, (b) dalam shalat sunnah ketika safar di kendaraan.

Penjelasan:

Pertama: Suci anggota badan dari hadats dan najis.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلاةَ أَحَدِكُمْ إذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Allah tidaklah menerima shalat salah seorang di antara kalian ketika ia berhadats sampai ia berwudhu.” (HR. Bukhari, no. 6954 dan Muslim, no. 225)

Tubuh suci dari hadats kecil maupun hadats besar harus dilakukan, begitu pula menghilangkan najis dari badan sebelum shalat.

Kedua: Menutup aurat.
Yang dimaksud adalah menutup aurat dengan pakaian di dalam shalat. Seandainya seseorang shalat hanya bersendirian tetap harus menutup aurat karena kita shalat itu menghadap Allah dan harus malu ketika berhadapan dengan Allah.

Aurat di dalam shalat:

  • untuk laki-laki: antara pusar dan lutut, di mana pusar dan lutut bukanlah aurat.
  • untuk perempuan: seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.

Catatan :

  • Wanita ketika shalat wajib menutup kaki baik bagian punggung maupun dalam telapak kaki, karena kaki termasuk aurat yang mesti ditutup ketika shalat.
  • Wanita wajib menutup aurat dengan pakaian yang suci, tidak tipis yang akhirnya menampakkan warna kulit.
  • Jika aurat terbuka di tengah shalat, lalu mampu untuk ditutup segera, shalatnya sah. Namun, jika tidak ditutup segera, shalatnya tidaklah sah.
Ketiga: berdiri di tempat yang suci
Shalat haruslah dilakukan di tempat yang suci. Dalilnya adalah sebagaimana dikeluarkan oleh yang lima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyuruh menyiramkan air pada tempat yang dikencingi Arab Badui di dalam masjid.

Catatan:

  • Jika seseorang shalat di atas sajadah atau karpet, lalu di tempat tersebut ditemukan najis, tetapi ia shalat di bagian yang tidak terdapat najis dari sajadah atau karpet tersebut, shalatnya tetap sah. Jika sajadahnya suci lalu diletakkan di atas tempat yang terkena najis, maka shalatnya sah.
  • Jika seseorang shalat, lalu bakda shalat mendapati najis pada tempat atau pakaian, lalu ada kemungkinan najis tersebut ada sebelum selesai shalat, maka shalatnya diulangi. Namun jika kemungkinan najis itu ada setelah selesai shalat, maka najis dianggap tidak ada, shalatnya tak perlu diulangi.
Keempat: mengetahui masuknya waktu shalat
Jika seseorang shalat sebelum masuknya waktu shalat, shalatnya harus diulangi karena ia tidak melakukannya di waktunya berarti shalatnya dianggap tidak ada.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًا مَّوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisaa’: 103)

Tingkatan (marotib) mengetahui masuknya waktu shalat:

  • Mengetahuinya langsung seperti dengan melihat keadaan matahari saat tenggelam.
  • Mendapatkan berita dari yang terpercaya yang menyaksikan langsung, seperti mengetahui waktu shalat dari jam (jadwal shalat) atau mendengar azan.
  • Ijtihad dalam menentukan waktu.
Kelima: menghadap kiblat
Allah Ta’ala berfirman,

وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُۥ

“Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 144). Yang dimaksud adalah menghadap ke arah Kabah dengan dada. Jika dekat dari Kabah, berarti menghadap Kabah secara yakin. Jika jauh dari Kabah, berarti dengan sangkaan menghadap Kabah.

Catatan:

Siapa yang tidak mampu menghadap kiblat karena ada uzur ketika melaksanakan shalat fardhu, maka ia shalat tergantung keadaannya. Lalu hendaklah shalatnya diulangi (menurut satu pendapat). Sedangkan pendapat lainnya, shalatnya tidak perlu diulangi.
Menghadap kiblat menjadi gugur untuk dua keadaan:

  1. Keadaan sangat takut misalnya ketika dalam kondisi perang, Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالًا أَوْ رُكْبَانًا

“Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan.” (QS. Al-Baqarah: 239)

  1. Ketika melaksanakan shalat sunnah saat safar di atas kendaraan. Inilah kemudahan bagi musafir. Dari ‘Amir bin Rabi’ah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di atas kendaraannya ke arah mana saja kendaraan itu menghadap.” (HR. Bukhari, no. 1093 dan Muslim, no. 701). Al-Bukhari menambahkan, “Beliau memberi isyarat dengan kepalanya, namun beliau tidak melakukannya pada shalat wajib.”

Catatan:

Jika musafir telah sampai di negerinya di pertengahan shalat, wajib baginya menghadap kiblat, juga wajib rukuk dan sujud karena sebab safar telah hilang.

https://rumaysho.com/37822-matan-taqrib-apa-saja-yang-termasuk-syarat-sah-shalat.html

[Pembatal Shalat]

تَبْطُلُ الصَّلاَةُ بِأَرْبَعَ عَشْرَةَ خَصْلَةً:

1- بِالْحَدَثِ.

وَ2- بِوُقُوْعِ النَّجَاسَةِ إِنْ لَمْ تُلْقَ حَالاً مِنْ غَيْرِ حَمْلٍ.

وَ3- انْكِشَافِ الْعَوْرَةِ إِنْ لَمْ تُسْتَرْ حَالاً.

وَ4- النُّطْقِ بِحَرْفَيْنِ أَوْ حَرْفٍ مُفْهِمٍ عَمْداً.

وَ5- بِالْمُفَطِّرِ عَمْداً.

وَ6- بِالأُكْلِ الْكَثِيْرِ نَاسِياً.

وَ7- ثَلاَثِ حَرَكَاتٍ مُتَوَالِيَاتٍ وَلَوْ سَهْواً.

وَ8- الْوَثْبَةِ الْفَاحِشَةِ.

وَ9- الضَّرْبَةِ الْمُفْرِطَةِ.

وَ10- زِيَادَةِ رُكْنٍ فِعْلِيٍّ عَمْداً.

وَ11- التَّقَدُّمِ عَلَى إِمَامِهِ بِرُكْنَيْنِ، وَالتَّخَلُّفِ بِهِمَا بِغَيْرِ عُذْرٍ.

وَ12- نِيَّةِ قَطْعِ الصَّلاَةِ.

وَ13- تَعْلِيْقِ قَطْعِهَا بِشيءٍ.

وَ14- التَّرَدُّدِ فِيْ قَطْعِهَا.

Fasal: shalat batal karena 14 perkara, yaitu [1] hadats, [2] terkena najis kecuali langsung dibuang tanpa dibiarkan, [3] tersingkap aurat kecuali langsung ditutup, [4] berbicara dua atau satu huruf yang bisa dipahami dengan sengaja, [5] melakukan pembatal puasa dengan sengaja, [6] makan banyak meski lupa, [7] gerakan tiga kali yang berturut-turut meskipun lupa, [8] melompat yang keras, [9] memukul keras, [10] menambah rukun fi’li dengan sengaja, [11] mendahului imam dalam dua rukun dan ketinggalan imam dua rukun tanpa uzur, [12] niat memutus shalat, [13] sengaja memutus shalat dengan sesuatu, dan [14] ragu-ragu dalam membatalkan shalat.

Catatan:

تَبْطُلُ الصَّلاَةُ بِأَرْبَعَ عَشْرَةَ خَصْلَةً:

Maksud batal shalat di sini adalah shalat menjadi tidak sah. Shalat yang batal di sini mencakup:

  • shalat wajib,
  • shalat sunnah,
  • termasuk pula yang serupa dengan shalat adalah sujud tilawah, sujud syukur, dan shalat jenazah.

Shalat menjadi batal jika terdapat salah satu dari 14 hal ini di tengah shalat atau di permulaan shalat.

1- بِالْحَدَثِ.

[1] hadats,

Dengan adanya hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar, walaupun tidak disengaja, walaupun dari orang yang faqiduth thohuroin (tidak mendapati air dan debu), atau daimul hadats (orang yang selalu berhadats) selain hadats yang selalu keluar.

Untuk perihal hadats: lihat pembatal wudhu yang empat dan sebab mandi wajib yang enam di dalam kitab Safinah An-Naja’.

Catatan dari Al-Fiqh Al-Manhaji (1:170):

  • Jika berhadats setelah salam pertama dan sebelum salam kedua, shalatnya sudah sah. Ini adalah hal yang disepakati oleh para ulama.

Catatan dari Mulakhkhash Fiqh Al-‘Ibadaaat (hlm. 180):

  • Jika seseorang shalat terkena najis dalam keadaan lupa, tidak tahu, maka shalatnya sah dan tidak perlu diulang. Inilah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat, pendapat Imam Syafi’i yang qadim, dipilih oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawi, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Baz, dan Ibnu ‘Utsaimin.

وَ2- بِوُقُوْعِ النَّجَاسَةِ إِنْ لَمْ تُلْقَ حَالاً مِنْ غَيْرِ حَمْلٍ.

[2] terkena najis kecuali langsung dibuang tanpa dibiarkan,

Membatalkan shalat bila terkena najis yang tidak dimaafkan pada badan atau bajunya (misal: kencing, kotoran manusia, darah yang banyak, nanah yang banyak), jika tidak disingkirkan secara langsung sebelum berlalu waktu minimal thumakninah. Artinya, najis harus segera dihilangkan.

  • Apabila telah disingkirkan sebelum itu, seperti najisnya kering dan pakaiannya dikibaskan secara langsung atau najisnya basah dan pakaian yang terkena najis dilemparkan tanpa memegang atau membawanya, maka shalatnya tidaklah batal.
  • Apabila disingkirkan dengan tangannya atau dengan tongkat yang terdapat najis padanya atau tangannya diletakkan pada tempat yang terkena najis, maka hal itu membatalkan shalatnya.

وَ3- انْكِشَافِ الْعَوْرَةِ إِنْ لَمْ تُسْتَرْ حَالاً.

[3] tersingkap aurat kecuali langsung ditutup,

Termasuk yang membatalkan shalat adalah terbukanya sedikit dari sesuatu yang wajib ditutup dalam shalatnya, jika tidak ditutup secara langsung sebelum berlalu waktu minimal thumakninah dan yang membuka penutup adalah angin.

Terbukanya di sini karena angin dan masih dalam waktu yang singkat (kadar thumakninah), shalatnya batal jika tidak ditutup langsung.

Apabila yang membuka penutup adalah bukan angin, maka hal itu termasuk membatalkan shalat, walaupun ditutup secara langsung.

Lihat batasan aurat yang telah dibalas sebelumnya.

Dalam Al-Fiqh Al-Manhaji (1:169) menyebutkan:

  • Jika orang yang shalat membuka aurat dengan sengaja, shalatnya batal.
  • Jika orang yang shalat membuka aurat tanpa keinginannya (berarti tidak sengaja), ia hendaknya menutupnya segera, maka shalatnya tidaklah batal. Jika tidak ditutup dengan segera, shalatnya batal karena tidak memenuhi syarat shalat.

وَ4- النُّطْقِ بِحَرْفَيْنِ أَوْ حَرْفٍ مُفْهِمٍ عَمْداً.

[4] berbicara dua huruf atau satu huruf yang bisa dipahami dengan sengaja,

Yang dimaksud adalah berbicara dalam keadaan disengaja dan tahu bahwa hal itu diharamkan ketika shalat.

Berbicara yang dimaksud adalah berbicara dengan:

  • dua huruf terus menerus (tawali) walau tidak dipahami,
  • terdiri dari satu huruf yang dibaca panjang,
  • satu huruf yang dapat dipahami maknanya seperti kata qi (قِ) yang berarti jagalah, atau ‘i (عِ) yang berarti dengarkanlah, dan fi (فِ) yang berarti tepatilah.

Jika dilakukan tidak sengaja (seperti keceplosan, atau tidak tahu hukumnya karena baru masuk Islam, atau jauh dari ulama atau ia lupa kalau sedang berada dalam shalat), jika yang diucapkannya sedikit yaitu empat kata, maka tidaklah membatalkan shalat.

وَ5- بِالْمُفَطِّرِ عَمْداً.

[5] melakukan pembatal puasa dengan sengaja,

Shalat batal karena melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa jika dilakukan dengan sengaja, tahu ilmu akan keharamannya. Contoh, memasukkan sesuatu ke dalam telinga, makan walaupun sedikit.

Apabila lupa atau tidak tahu hukumnya, ia dianggap punya uzur, maka tidaklah membatalkan kecuali jika ia mengunyah dengan tiga kali kunyahan.

وَ6- بِالأُكْلِ الْكَثِيْرِ نَاسِياً.

[6] makanan yang banyak meski lupa,

Ukli berarti sesuatu yang dimakan (ma’kul). Shalat batal dengan masuknya makanan yang banyak walaupun bagi orang yang lupa. Shalat juga batal bagi orang yang tidak tahu dan punya uzur (dimaafkan) kalau makanan yang masuk banyak.

Kenapa kalau puasa lalu makan banyak dalam keadaan lupa tidaklah membatalkan puasa, sedangkan shalat makan banyak itu membatalkan shalat?

Beda antara shalat dan puasa

  • Puasa itu hanya sekadar menahan diri (al-kaffu). Sedangkan shalat itu melakukan gerakan yang sudah teratur. Sehingga dalam kasus makan banyak untuk yang berpuasa dan shalat berbeda. Shalat sambil makan banyak berarti tidak dianggap shalat walaupun lupa.

وَ7- ثَلاَثِ حَرَكَاتٍ مُتَوَالِيَاتٍ وَلَوْ سَهْواً.

[7] gerakan tiga kali yang berturut-turut meskipun lupa,

Berlaku pula bagi orang yang lupa dan orang yang tidak tahu hukumnya.

Gerakan yang membatalkan:

– Melakukan gerakan yang banyak (tiga kali gerakan atau lebih)

– Gerakannya terus menerus (mutawaaliyaat)

– Dilakukan oleh anggota badan yang berat (tangan, kaki, kepala, dan rahang). Namun, tidak batal jika dilakukan oleh anggota tubuh yang ringan seperti jari-jari yang bergerak, kelopak mata, dan bibir, walaupun bergerak berkali-kali dan terus menerus.

*Tidak batal jika gerakannya sedikit (kurang dari tiga kali) atau tiga kali tetapi tidak terus menerus.

*Jika maksudnya itu main-main walaupun gerakan itu sedikit walau dari anggota tubuh yang ringan, shalatnya batal.

*Jika sifatnya darurat yang tidak bisa ditinggalkan, tidaklah membatalkan shalat, seperti menggaruk bagian tubuh yang gatal.

وَ8- الْوَثْبَةِ الْفَاحِشَةِ.

[8] melompat yang keras,

Karena lompatan itu pasti melampaui batas.

وَ9- الضَّرْبَةِ الْمُفْرِطَةِ.

[9] memukul keras,

Melakukan gerakan memukul yang melampaui batas yaitu pukulan yang menggerakkan seluruh badan. Termasuk pula tendangan yang melampaui batas.

وَ10- زِيَادَةِ رُكْنٍ فِعْلِيٍّ عَمْداً.

[10] menambah rukun fi’li (perbuatan) dengan sengaja,

Dilakukan dengan sengaja dan tahu hukumnya. Seperti:

  • melakukan rukuk tanpa mengikuti imam untuk membunuh ular misalnya, walaupun tanpa kadar thumakninah dan tidak bergerak dengan tiga kali gerakan yang terus menerus. Ini shalatnya batal karena sudah menambah rukuk yang termasuk rukun fi’li.

وَ11- التَّقَدُّمِ عَلَى إِمَامِهِ بِرُكْنَيْنِ، وَالتَّخَلُّفِ بِهِمَا بِغَيْرِ عُذْرٍ.

[11] mendahului imadalam dua rukun dan ketinggalan imam dua rukun tanpa uzur,

Yaitu (1) mendahului imam dalam dua rukun perbuatan, walaupun bukan termasuk rukun yang panjang, dan (2) terlambat dari imam dengan dua rukun perbuatan tanpa adanya uzur.

Contoh sabaq (mendahului imam):

  • Imam masih membaca surat, makmum mau turun sujud.
  • Imam ingin bergerak menuju iktidal, makmum telah sujud.

Contoh takhalluf (lambat dari imam):

  • Imam dari iktidal mau sujud, sedangkan makmum masih berdiri (membaca surat).

Yang dimaafkan dalam mendahului imam (as-sabaq) dan telat dari imam (takhalluf):

  • Karena lupa
  • Karena tidak tahu

Kalau satu rukun lebih cepat (sabaq) tetap haram dilakukan.

وَ12- نِيَّةِ قَطْعِ الصَّلاَةِ.

[12] niat memutus shalat,

Yaitu berniat keluar dari shalat secara langsung atau setelah satu rakaat misalnya.

وَ13- تَعْلِيْقِ قَطْعِهَا بِشيءٍ.

[13] sengaja memutus shalat dengan dikaitkan dengan sesuatu,

Misalnya dikaitkan batalnya shalat dengan datangnya seseorang.

Shalat itu harus ada niatan jazimah (tegas). Keinginan atau azam bertolak belakang dengan niatan jazimah.

وَ14- التَّرَدُّدِ فِيْ قَطْعِهَا.

dan [14] ragu-ragu dalam membatalkan shalat.

Referensi:

Nail Ar-Raja’ bi Syarh Safinah An-Naja. Cetakan pertama, Tahun 1439 H. Al-‘Allamah Al-Faqih As-Sayyid Ahmad bin ‘Umar Asy-Syatiri. Penerbit Dar Al-Minhaj.

Sumber https://rumaysho.com/31524-safinatun-naja-pembatal-shalat.html

[Syarat Al-Fatihah]

شُرُوْطُ الْفَاتِحَةِ عَشَرَةٌ:

1- التَّرْتِيْبُ.

وَ2- الْمُوَالاَةُ

وَ3- مُرَاعَاةُ حُرُوْفِهَا.

وَ4- مُرَاعَاةُ تَشْدِيْدَتِهَا.

وَ5- أَنْ لاَ يَسْكُتَ سَكْتَةً طَوِيْلَةً، وَلاَ قَصِيْرَةً يَقْصِدُ بِهَا قَطْعَ الْقِرَاءَةِ.

وَ6- قِرَاءَةُ كُلِّ آيَاتِهَا، وَمِنْهَا الْبَسْمَلَةُ.

وَ7- عَدَمُ اللَّحْنِ الْمُخِلِّ بِالْمَعْنَى

وَ8- أَنْ تَكُوْنَ حَالَةَ الْقِيَامِ فِيْ الْفَرْضِ.

وَ9- أَنْ يُسْمِعَ نَفْسَهُ الْقِرَاءَةَ.

وَ10- أَنْ لاَ يَتَخَلَّلَهَا ذِكْرٌ أَجْنَبِيٌّ.

Fasal: Syarat Al-Fatihah ada 10, yaitu [1] tartib, [2] muwalah (urut dan tidak disela), [3] menjaga hurufnya, [4] menjaga tasydidnya, [5] tidak berhenti lama atau sebentar dengan niatan memutus bacaan, [6] membaca semua ayatnya termasuk basmalah, [7] tidak lahn (salah baca) yang bisa mengubah makna, [8] membacanya dengan berdiri saat shalat Fardhu, [9] dirinya mendengarkan bacaannya, dan [10] tidak menyela-nyelanya dengan dzikir lainnya.

Ada dua syarat bisa ditambahkan:

  1. Membaca Al-Fatihah dengan bahasa Arab.
  2. Niatannya untuk membaca surah, bukan untuk menujukan kepada yang lain. Seperti menujukan Al-Fatihah untuk wali, maka bacaan Al-Fatihah harus diulang. Namun, jika niatnya digabung dengan niatan baca surah dalam shalat, maka tidak perlu diulang.

Baca juga: Makmum Baiknya Tetap Membaca Al-Fatihah

[1] tartib (berurutan),

Yaitu membaca tujuh ayat sesuai urutan yang ada.

Apabila mendahulukan suatu ayat, lalu mengubah arti atau menghapus maknanya, batallah shalatnya. Hal ini berlaku jika mengetahui dan sengaja. Jika tidak, maka hanya membatalkan bacaan Al-Fatihah saja.

Catatan: Surah Al-Fatihah itu tujuh ayat, sepakat ulama.

[2] muwalah (urut dan tidak disela),

Muwalah antara kalimat-kalimatnya, tidak ada jeda antara ayat yang satu dan berikutnya. Dzikir walaupun sedikit tidak bisa jadi jeda.

Bacaan yang masih diperbolehkan jadi sela karena masih terkait maslahat shalat yaitu:

  • Bacaan “aamiin”
  • Berdoa meminta perlindungan (ta’awudz)
  • Meminta rahmat
  • Sujud tilawah karena mengikuti imam
  • Membetulkan bacaan imam

[3] menjaga hurufnya,

Yaitu tidak boleh kehilangan satu huruf pun walaupun hamzah seperti pada ayat AN-‘AMTA, wajib mengulang kalimat yang merupakan bagian darinya lalu dilanjutkan ayat selanjutnya selama jaraknya belum lama atau selama belum rukuk. Jika telah rukuk, shalatnya batal jika terjadi hal tadi.

[4] menjaga tasydidnya,

Jika tidak dibaca tasydid, maka bacaan tersebut menjadi batal karena kelirunya kalimat.

Namun, bila membaca suatu huruf dengan tasydid sedangkan huruf itu tidak ada tasydidnya, maka hal itu tidak membatalkan shalatnya ataupun bacaannya. Namun, jika mengubah makna, maka hanya membatalkan bacaannya saja. Shalatnya bisa ikut batal jika mengetahui dan sengaja.

[5] tidak berhenti lama atau sebentar dalam memutus bacaan,

As-saktah at-thawiilah (diam yang lama) adalah diam yang melebihi dari diam untuk bernafas.

Diam ketika di tengah-tengah membaca Al-Fatihah yang bermasalah adalah:

– diam di tengah-tengah bacaan dengan maksud diam yang lama secara mutlak, baik ingin memutus bacaan ataukah tidak.

– diam dengan diam yang qashir (sebentar) dengan niatan untuk memutus bacaan.

Diam yang dibahas ini bermasalah jika sengaja tanpa ada uzur. Jika lupa, diam untuk mengingat ayat selanjutnya, atau karena gagap, maka diamnya masih diperbolehkan.

[6] membaca semua ayatnya termasuk basmalah,

Membaca seluruh ayat dalam surah Al-Fatihah termasuk basmalah. Hal ini berlaku juga untuk semua surah dalam Al-Qur’an kecuali surah Baro’ah (At-Taubah).

Catatan: Kalau mau memulai membaca surah lainnya, diperintahkan memulainya dengan basmalah.

Untuk surah At-Taubah, haram membaca basmalah di awalnya dan makruh dibaca di pertengahannya menurut Ibnu Hajar. Sedangkan Imam Ar-Ramli menyatakan membaca basmalah itu makruh di awal At-Taubah dan sunnah di pertengahannya.

Surah lainnya selain At-Taubah disunnahkan membaca basmalah saat mulai membaca di tengah surat. Hal ini menjadi pendapat Ba’isyin, penulis Busyral Karim.

Hal ini berbeda seperti yang dikatakan dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai disunnahkannya membaca basmalah ketika membaca dari pertengahan surah. Ulama salaf kami dan para fuqaha menyatakan, “Basmalah hanyalah dibaca di awal surah saja. Itulah yang lebih tepat.”

Baca juga: Hukum Menjaharkan Basmalah

[7] tidak lahn (salah baca) yang bisa mengubah makna,

Yang dimaksud adalah melakukan lahn yang (1) mengubah makna atau (2) membatalkan makna.

Contoh mengubah makna, membaca menjadi: AN’AMTU atau AN’AMTI.

Contoh membatalkan makna, membaca menjadi: AL-MUSTAQIIN.

[8] membacanya dengan berdiri saat shalat fardhu,

Ini dilakukan ketika mampu berdiri. Jika tidak mampu berdiri, maka dibaca pada posisi penggantinya.

[9] dirinya mendengarkan bacaannya,

Yaitu: memperdengarkan pada dirinya sendiri seluruh huruf-huruf bacaan Al-Fatihah. Ini jika tidak ada penghalang (seperti tuli atau suara gaduh). Namun, jika ada penghalang, maka diangkat suaranya hingga sekiranya tidak ada penghalang niscaya ia dapat mendengarnya.

dan [10] tidak menyela-nyelanya dengan dzikir lainnya.

Maksudnya, tidak diselingi antara lafaz-lafaznya dengan ucapan yang tidak terkait dengan kepentingannya dalam shalat, jika disengaja dan tahu. Hal ini berbeda jika lupa atau tidak tahu, maka tidaklah berpengaruh. Begitu pula bila ucapan tersebut ada kepentingannya di dalam shalat, maka masih diperbolehkan adanya ucapan tersebut. Yang terkait dengan kepentingan shalat lihat penjelasan nomor dua.

Sumber https://rumaysho.com/31104-safinatun-naja-rukun-shalat-cara-niat-membaca-al-fatihah-dan-rinciannya.html#Syarat_Al-Fatihah

Related Posts

×

Assalamu'alaikum

Klik salah salah satu kontak untuk chat

× Tanya via WA