MATERI PENGAYA :
MEMILIKI RASA TANGGUNG JAWAB
Oleh: Fathurrahman*
Saudaraku, apa yang ada di benak kita ketika mendengar ungkapan, “Kita harus memiliki rasa tanggung jawab” atau seperti ungkapan yang senada, “Seseorang harus bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” atau ungkapan yang lain, “Mana tanggung jawabmu?” Untuk memahami ungkapan-ungkapan tersebut, sejenak kita kembali ke masa lalu.
Pernahkah di masa kecil orang tua kita mengajarkan menyapu lantai rumah, ngepel, mencuci piring, melipat baju, merapikan sandal, bahkan sebagian orang tua menyuruh atau mengajak anaknya untuk menunaikan shalat lima waktu dan seterusnya? Ini merupakan prilaku tanggung jawab yang diajarkan orang tua kepada anak-anaknya. Berharap kelak ketika anak tersebut sudah mencapai usia baligh ia memiliki rasa bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya atau ia menunaikan kewajibannya dengan penuh kesadaran.
Memahami Makna Tanggung Jawab
Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan tanggung jawab wahai saudaraku? Tanggung jawab adalah kesadaran seseorang melakukan suatu kegiatan, dan bersedia menjalani risiko akibat perbuatannya. Dalam KBBI diartikan keadaan wajib menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya).[1]
Tanggung jawab adalah sikap ketika seseorang harus bijak akan suatu masalah yang tengah dihadapinya. Perilaku ini tidak bisa dibatasi oleh usia maupun jenis kelamin, karena memang bersifat umum. Oleh karenanya, tanggung jawab yang diemban oleh seseorang akan kian berat seiring dengan bertambahnya usia. Namun usia bukanlah jaminan bahwa seseorang sudah dapat dinyatakan sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab.
Tanggung Jawab dalam Kitab Suci
Saudaraku, kalau kita lacak dalam sumber utama yaitu al Qur’an dan hadits ash-shahihah tentang tanggung jawab, terdapat secara tersirat dalam beberapa ayat dalam al-Qur’an dan beberapa hadits.
Allah l berfirman: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (Q.S. al-Muddatstsir [74]: 38)
Dalam Tafsir Al-Mukhtashar dijelaskan, setiap jiwa bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukannya, bisa jadi amal perbuatan itu menjerumuskannya dan bisa jadi amal perbuatan itu menyelamatkannya dari kehancuran.[2] Senada dalam penjelasan di Tafsir Al-Muyassar, bahwa setiap jiwa tergadai dan tergantung dengan apa yang diusahakannya, baik berupa kebaikan atau keburukan, ia tidak bebas sebelum menunaikan kewajiban dan hukuman yang harus dijalaninya.[3]
Dalam tafsir Kementrian Agama RI dijelaskan bahwa, ayat-ayat tersebut merupakan pernyataan kepada manusia seluruhnya dalam kaitan dengan kebebasan memilih yang telah ditegaskan pada ayat-ayat sebelumnya. Manusia mau maju meraih kebaikan atau mundur yang jelas setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya masing-masing, kecuali golongan kanan golongan inilah yang meraih keberuntungan karena memilih yang baik.[4]
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar c, Nabi n bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Amir (kepala Negara), dia adalah pemimpin manusia secara umum, dan dia akan diminta pertanggungjawaban atas mereka. Seorang suami dalam keluarga adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya, dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah pemimipin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa yang dipimpinnya.” (H.R. Bukhari no. 2554[5] dan Muslim no. 1829)
Dalam hadits terdapat dalil yang menunjukkan betapa tanggung jawab setiap orang yang memegang kendali urusan rakyat itu sangat besar dan berat, para pemimpin baik dalam skala besar maupun kecil, termasuk juga kepemimpinan seorang lelaki terhadap keluarganya. Oleh karena itu, kewajiban orang yang memegang kendali urusan kaum muslimin, untuk menjaga hak-hak mereka dengan penuh tanggung jawab, tanpa berlaku curang. Serta masih banyak ayat dan hadits lain yang menjadi ancaman bagi orang-orang yang melalaikan tanggung jawabnya.
Ciri Orang Bertanggung Jawab
Sadaraku, dalam kehidupan bermasyarakat, kita dapat melihat perilaku orang-orang disekitar kita apakah mereka termasuk di antara dari ciri-ciri orang bertanggung jawab atau sebaliknya. Berikut beberapa ciri orang bertanggung jawab:
- Ikhlas dalam melakukan kebaikkan (Q.S. al Bayyinah [98]: 5)
- Ikhlas adalah kata dalam bahasa Arab yang memiliki arti “sungguh-sungguh” atau “dengan tulus”. Dalam konteks agama Islam, ikhlas sering kali diartikan sebagai keikhlasan hati dalam beribadah kepada Allah SWT tanpa mengharapkan pujian atau penghargaan dari manusia. Ikhlas juga dapat merujuk pada niat yang murni dan tulus dalam melakukan suatu amal baik, tanpa ada motif atau kepentingan yang tersembunyi.
- Dalam Islam, seseorang yang memiliki sifat ikhlas akan mendapatkan keutamaan yang sangat penting, di antaranya:
- Mendapat Pahala dari Allah: Orang yang ikhlas dalam melakukan amal baik, baik itu ibadah atau amal kebajikan lainnya, akan mendapatkan pahala yang besar dari Allah SWT. Karena amal yang dilakukan dengan ikhlas, disertai dengan niat yang tulus dan ikhlas, dianggap lebih bernilai di hadapan Allah SWT.
- Meningkatkan Kualitas Ibadah: Ikhlas juga membantu meningkatkan kualitas ibadah seseorang, karena dengan melakukan ibadah hanya untuk Allah SWT, tanpa ada motif atau kepentingan lain, maka ibadah tersebut akan menjadi lebih khusyuk dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
- Meningkatkan Kepercayaan Diri: Orang yang memiliki sifat ikhlas cenderung memiliki kepercayaan diri yang kuat, karena ia tidak terpengaruh oleh pandangan atau penilaian orang lain. Ia melakukan apa yang dianggap benar karena ikhlas kepada Allah SWT, bukan karena ingin dipuji atau mendapat pengakuan dari orang lain.
- Membuat Hidup Lebih Tenang: Ikhlas juga dapat membuat hidup seseorang menjadi lebih tenang dan damai, karena ia menerima segala keadaan yang terjadi dalam hidupnya sebagai ketetapan Allah SWT yang pasti memiliki hikmah dan kebaikan.
- Menjadi Teladan bagi Orang Lain: Orang yang memiliki sifat ikhlas dapat menjadi teladan bagi orang lain, karena sikapnya yang tulus dan ikhlas dalam melakukan segala sesuatu dapat memotivasi orang lain untuk juga melakukan hal yang sama.
- Sesuai antara ucapan dan tindakan (Q.S. As-Shaff [61]: 2-3)
- Rasulullah Muhammad SAW dikenal dengan gelar Al-Amin yang berarti yang dapat dipercaya, dan Abu Bakar dikenal sebagai Ash-Shiddiq yang berarti yang benar dan jujur. Keduanya adalah contoh nyata tentang betapa pentingnya kejujuran dalam Islam.
- Jundub bin Abdillah Al-Bajali mengatakan, “gambaran yang tepat untuk orang yang menasihati orang lain namun melupakan dirinya sendiri adalah laksana lilin yang membakar dirinya sendiri untuk menerangi sekelilingnya.” (Jami’ Bayan Ilmi wa Fadhlih, 1/195)
- Berpikir optimis dalam masalah yang dihadapinya (Q.S. Asy Syarh [94]: 5-6)
- Ada beberapa hal yang harus dilakukan seorang Mukmin secara kontinu apabila ingin memiliki kemampuan di dalam mengatasi masalah hidupnya.
- Pertama, berusaha menjaga dan memelihara shalatnya dengan sebaik-baiknya. Seorang Mukmin pun hendaknya berupaya menerapkan nilai dan hikmah Islam di tengah-tengah kehidupannya. Ada banyak bentuk penerapan itu, seperti kejujuran, kebersihan, ketaatan, dan kasih sayang kepada sesama manusia–terutama dari golongan yang lemah, fakir, dan miskin.
- Kedua, seorang Mukmin mesti menyadari dengan sungguh-sungguh, di balik tiap kesulitan akan selalu ada kemudahan. Ini tentu asalkan ia tetap mau berikhtiar, mengerahkan kemampuan yang ada, disertai dengan penyerahan diri (tawakal) kepada Allah SWT. Firman Allah dalam surah Alam Nasyrah [94]: 5-6, artinya, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
- Ada beberapa hal yang harus dilakukan seorang Mukmin secara kontinu apabila ingin memiliki kemampuan di dalam mengatasi masalah hidupnya.
- Bekerja keras (Q.S. Asy Syarh [94]: 7)
- Islam memerintahkan seorang muslim untuk bekerja dan tidak menyuruh pemeluknya bermalas-malasan. Betapa banyak ayat maupun hadis yang menganjurkan dan menyuruh hambanya untuk bekerja keras dan bersungguh-sungguh, baik mencari nafkah untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat ataupun makhluk lainnya.
- Allah Swt. telah menyuruh kita untuk bekerja keras karena bekerja keras dalam Islam memiliki banyak hikmah dan manfaat terhadap lingkungan. Adapun hikmah bekerja keras, di antaranya adalah sebagai berikut:
- Dapat mengembangkan potensi diri, baik berupa bakat, minat, pengetahuan, maupun keterampilan;
- Dapat membentuk pribadi yang disiplin serta bertanggung jawab;
- Mengangkat harkat martabat diri baik sebagai makhluk individu maupun sebagai masyarakat;
- Dapat meningkatkan taraf hidup dan meningkatkan kesejahteraan;
- Dapat mendorong untuk hidup mandiri dan tidak menjadikannya beban bagi orang lain;
- Dapat memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga terpenuhi;
- Mampu menjalani hidup layak;
- Menimbulkan rasa sayang apabila waktunya terbuang dengan sia-sia;
- Dapat meraih cita-cita menjadikannya seorang yang dermawan.
- Setia pada perjanjian yang telah dibuatnya (menepati janji) (Sayyidul istighfar, R. Bukhari no. 6.306)
- Salah satu dari tanda kuatnya iman seorang muslim adalah menepati janji-janji yang telah diucapkannya, tidak berusaha mengingkari janji atau menariknya kembali. Ajaran Islam mewasiatkan agar setiap orang menganggap penting setiap transaksi yang telah ditetapkan dan melaksanakan syarat-syarat yang tertulis di dalamnya. Nabi SAW bersabda:
- اَلْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ (رواه الترمذي وابن ماجة)
- “Kaum muslimin itu terikat dengan transaksi yang akan mereka tetapkan” (HR. Tirmidzi, No: 253, Ibnu Majah, No: 2353).
- Setiap janji yang telah diucapkan seseorang, pasti akan dimintai pertanggungjawaban, karena itu berhematlah dengan janji dan jangan terlalu mengobralnya, sehingga kewalahan, tidak dapat memenuhinya
- Berbuat baik dan mentaati orang tua dalam perkara kebaikkan (Q.S al Baqarah [2]: 83, dan Q.S. an-Nisâ’: [4]: 36)
- Peduli pada kondisi, baik keluarga maupun teman (Q.S al Hadid [57]: 18, dan Q.S. al Mâidah [5]: 2)
- Rajin memberi apresiasi kepada siapa saja dan tidak lupa mengucapkan terima kasih. (H.R. Abu Daud, no. 4811 dan Tirmidzi, no. 1954.)
Masih banyak ciri-ciri orang bertanggung jawab yang disebutkan dalam al-Qur’an dan hadits. Setidaknya apa yang sudah disebutkan ini bisa menjadi acuan bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri orang bertanggung jawab. Sehingga kita dapat mengambil faidah dari mereka dalam rangka kemaslahatan umat.
Kepada Siapa Harus Bertanggung Jawab?
Saudaraku, kepada siapa kita harus bertanggungjawab? Jawabanya tergantung kepada siapa kita tujukan. Bisa jadi kita bertanggung jawab kepada Allah l, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, tempat kerja, dan yang lainnya. Pertanggungjawaban yang paling berat adalah kelak di yaumil hisab.
Setiap yang berjiwa akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah diperbuatnya. Maka persiapkanlah dari sekarang (di dunia) agar kelak pertanggungjawabannya ringan. Semoga Allah menjadikan kita diantara hamba-hamba-Nya yang istiqamah di atas kebaikkan.[]
Mutiara Hikmah
Dari An Nu’man bin Basyir a, Nabi n bersabda:
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ
“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (H.R. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 667).